Hai, apa kabar?
Semoga kamu baik-baik saja.
Untukmu Tara Mandalika,
Hari ini aku tak sengaja, membuka
kembali gallery album foto dilaptopku. Kamu tahu, apa yang aku temukan? Aku
menemukan sebuah screenshoot percakapan pertama kita yang membuat aku tak bisa
berhenti memikirkanmu sampai hari ini—saat aku menulis surat ini. Kata-kata
yang malam itu kamu kirimkan sampai saat ini masih membuatku tersipu dan jantungku berdegup kencang
saat membacanya.
“Alina, jika aku tidak jadi
menikah dengannya, aku akan melamarmu. Diterima ataupun ditolak, aku sudah siap
dengan resikonya” ujarmu dalam sebuah pesan singkat pada hari Jumat, 4
Agustus 2017 pukul 22.00 WIB
Kamu bisa bayangkan wajahku saat
itu, tiba-tiba aku mendapatkan sebuah pesan singkat yang mengagetkan, dari
orang yang tak asing bagiku.
Aku enggak tahu kenapa malam itu aku
memberikan jawaban seolah menenangkanmu dan seakan memberimu harapan bahwa aku menyetujui
pernyataanmu. Aku enggak ngerti sama perasaanku malam itu. Aku benar-benar
bingung; bingung harus menjawab apa dan bagaimana.
Perasaan yang entah harus aku
namai apa, karena terlalu cepat jika aku menyebutnya jatuh cinta. Perasaan yang
entah harus aku namai apa, karena terlalu singkat jika aku menamainya rasa nyaman.
Perasaan yang entah harus aku namai apa, karena perasaan itu ada dan entah
datang sejak kapan. Ada rasa hangat yang berdesir jauh di dalam palung hatiku,
entah kenapa dan entah apa.
Kamu dan tanggal empat Agustus
Duaributujuh belas, adalah sebuah konspirasi dari semesta yang tak akan pernah
hilang dalam ingatan aku
Ra, banyak sekali hal baik yang
kamu bawa ke kehidupan aku; hal-hal baik yang terkadang dibungkus dalam
perilaku menyebalkannya kamu. Entah akan ada berapa banyak surat yang aku
tulis—yang isinya sudah pasti tentang segalamu, dan juga tentang kita.
Ra, ijinkan aku untuk memberi tahu semesta
bahwa kamu tidak seburuk yang mereka sangka, bahwa aku (selalu) mencintaimu dengan suka
rela.
Salam Sayang,
Alina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar